Mencintai Tragedi "Aku Buruk, Aku Bercela, Aku Tidak Pernah Layak"



Semua orang di depan mataku sehat dan bugar, tertawa- tawa, bisa marah- marah, atau bahkan tenang terdiam- diam teduh. Aku percaya, mata hanya bisa melihat setengah kebenarannya.


Karena yang terjadi padaku pun demikian. Aku tertawa karena temanku sedang berkata lucu. Aku tidak menipu diri dan tawaku itu benar. Aku menikmati pertemananku. Aku sedang bahagia pada saat itu. Tapi aku juga punya sedih yang sedang tidur pada saat itu pula. Gilirannya aku kembali bersama diriku sendiri saja, ada waktunya bahagia tidur dan sedih bangun. Aku benar sedang sedih karena sebuah masalah yang entah karena apa. Aku tenggelam dalam carut marut gulana itu. Aku pun menangis karena sedang berduka pada saat itu. Semuanya adalah kebenaran, tidak palsu kok. Hanya saja yang terlihat itu selalu hanya setengah, tidak utuh.

Self Criticism

Ini kata kunci menarik yang pernah aku ketik pada catatan ponselku, bermaksud supaya aku menguliknya suatu saat. Maka kini Wikipedia terpampang pada layar laptopku. Self criticism ini terkait bagaimana seorang individu mengevaluasi dan mengkritisi dirinya sendiri, terjadi pada orang yang memiliki gagguan indentitas (disrupted self- identity). Ensiklopedia daring ini juga bilang bahwa orang yang depresi memiliki self criticism lebih tinggi daripada orang yang tidak sedang depresi. Bahkan setelah episode depresinya usai, mereka akan melanjutkan kepribadiannya yang self- critical lagi.

Imposter Syndrome

Masih pada sumber yang sama, imposter syndrome adalah konsep yang menjelaskan keadaan individu yang ditandai oleh ketidakmampuan untuk menginternalisasi pencapaian mereka dan terus- menerus merasa takut dianggap sebagai “penipuan”.

Tidak hanya sampai disitu, tanda- tanda dan gejala imposter syndrome berbeda pada setiap orang, antara lain yaitu perfeksionisme, bekerja terlalu keras, mengurangi pencapaian, takut gagal, dan mengabaikan pujian. Tidak pernah merasa cukup akan segala yang dikerjakannya.

Semakin aku menjelajahnya, semakin aku mengerti. “Oh, karena ini toh. Terima kasih kepada ilmu pengetahuan yang membuat segalanya terformulasi.” Aku menyimpulkan kedua gangguan ini yang pernah saling simultan mengikatku erat. Semuanya lagi- lagi terbentuk karena banyak faktor yang aku jelajah pada diriku sendiri, baik dalam pola asuh aku dibesarkan maupun lingkungan, sosial dan budaya yang mempengaruhiku juga. 

Kalau secara visualisasi, jiwaku pernah diborgol, dikekang, dan menjadi babu akal pikiranku. Sementara rohaniku hanya bisa menangisi dari luar sel penjara itu tak berdaya meratapi jiwaku yang hampir mati.

 Manusia yang Menipu

Seperti pada film “Inside Out”, ada 4 emosi dasar pada manusia. Selama ini kita kira sedih itu salah, marah itu tidak boleh, jijik itu sombong dan ceria/ bahagia itu baik. Masyarakat juga gelisah saat kita bad mood, keyakinan spiritual kita juga mendorong kita untuk selalu tenang dan mengandalkan Tuhan, diri sendiri juga menuntut supaya kita tidak membiarkan diri dalam rasa sedih, marah atau jijik itu. Empat emosi dasar, tapi seringnya hanya membenarkan yang satu saja. Ketiga lainnya dipaksa tidur. Aku ragu pada saat itu apakah aku masih manusia.

Secara kekristenan, fenomena menipu diri (imposter syndrome) akibat self criticism juga pernah terjadi pada Nabi Elia. Alkitab mencatat sejarah kebenaran ini pada 1 Raja-raja 18:20 – 19:18. Ia Berjaya, menang telak setelah menantang rakyat yang percaya Baal (berhala dengan allah lain), membuktikan kebenaran, dan mengalahkan rakyat itu habis dengan rasa malu dibuatnya. Tapi lucunya Elia ini mengalami depresi setelahnya, ia takut dan merasa terancam oleh ancaman kecil padahal sudah menang (19:3). Heran, kan? 

Pada pasal 19:4, Elia mengalami depresi.


Ada Ananda, Thania, dan Agus, Divisi Kajian & Tulisan CC FEB USU 2018 "KaTul KeCe"

Apa yang bisa kita pelajari dari Elia?

Pada 1 Raja-raja 17:2-8, Elia taat meminta petunjuk Tuhan dan ia menang pada pasal 18. Tapi kemudian hanya karena ancaman Izebel, ia takut dan lari terbirit- birit, krisis. Elia melarikan diri ke padang gurun. Kesalahannya adalah: dia tidak meminta petunjuk Tuhan. Ia fokus pada dirinya sendiri, tidak lagi fokus kepada Tuhan. Elia gagal melihat dengan iman (19:14).

Pada dasarnya, Allah bukan memanggil kita untuk menjadi orang yang sukses, Ia memanggil kita untuk setia dan taat. "Sukses" yang kita anut tidak lebih dari standar yang manusia buat sendiri kok (Baca: Orang Dewasa itu Aneh). Motivasi yang jadi pondasi kegerakan kita ini mempengaruhi pola pikir dan tujuan kita kemudian, jadi jangan sampai kebalik. Esensinya adalah setia, orientasi proses, bukan hanya kepada hasil.

Kemudian Elia berpikir tidak jernih dan larut dalam penderitaan yang ia buat sendiri karena kelelahan fisik. Ia lari dari Yizrel ke padang gurun yang diperkiraan 150km jauhnya dalam satu hari. Lapar dan dehidrasi terjadi pada tubuhnya.

Dan yang terakhir, penyebab utama depresinya Elia adalah Dosa. Ia melarikan diri dari panggilan.
Tapi di sisi lain, kita bisa lihat Allah yang maha sabar. Di tengah kekecewaan-Nya, Allah merancang kehidupan yang baik meskipun kita lari dan kabur. Allah tidak marah, ia beri makan dan angin sepoi- sepoi kepada Elia di tengah kelelahannya melarikan dirinya sendiri.

Kak Henna Ompusunggu, seorang hamba Tuhan yang membagikan firman ini di salah satu ibadah jam doa KMK USU, mengingatkan bahwa saat krisis melanda, kita bukan gagal taat, kita gagal berdoa (Kolose4:2). Gagal untuk terus berkomunikasi (curhat) dengan Tuhan, sahabat kita. Pada masa kelam, kita sebenarnya yang lari dari Tuhan, bukan Tuhan yang menjauh.

Jika tidak ada manusia manapun yang tahu dan mengerti perasaanmu, Tuhan tahu dan selalu menerima kita bagaimanapun keadaan kita. Kita bukan Allah. Kita tidak bisa melayani semua orang dengan sempurna, bahkan dalam melayani diri sendiri. Kita manusia (Scazerro, 2016). Saat Paulus bilang, “Segala perkara dapat kutanggung dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” dalam Filipi 4:13, konteksnya ia belajar puas dalam segala keadaan. Kekuatan yang dia terima bukanlah kekuatan untuk berubah, menolak, atau mengabaikan keadaan dan perasaannya, melainkan untuk puas di tengah semua keadaan, berserah pada kehendak Allah yang penuh kasih pada dirinya (Fil4:11-13).

Setiap manusia memiliki 4 emosi dasar pada film animasi itu. Demikian adanya Allah menciptakan manusia. Tidak peduli karunia dan kekuatannya, manusia juga adalah pribadi yang lemah, rapuh, dan bergantung pada Allah dan sesamanya. Itulah sejatinya manusia.

Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kau buat, dan jiwaku benar- benar menyadarinya – Mazmur 139:14

Kita menjadi kita yang saat ini dengan kepribadian ini, kelemahan ini, dan kelebihan ini adalah oleh Allah dan untuk Allah. Aku pernah di puncak, aku juga pernah jatuh ke jurang. Aku pernah sedih, aku juga pernah bahagia. Aku bersyukur atas segala yang pernah terjadi padaku bahkan yang terburuk; itu yang menyebabkan aku yang sekarang. Dan aku siap kemudian akan sedih atau bahagia lagi. Kristus memerdekakanku, jiwaku bebas dan rohaniku bersuka ria. Akal pikiranku kembali sehat dan menjadi senjata terbaik dalam memberitakan kebebasan ini.

Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya Kristus turun menaungi aku – 2Korintus 12:9

Lantas, mau dibawa kemana kepribadian kita ini? Saatnya minta petunjuk-Nya!



 








Mencintai Tragedi "Aku Buruk, Aku Bercela, Aku Tidak Pernah Layak" Mencintai Tragedi "Aku Buruk, Aku Bercela, Aku Tidak Pernah Layak" Reviewed by Celoteh Ngoceh on June 24, 2019 Rating: 5

No comments