Eksklusivitas Komunitas


Iman saya sendiri bertumbuh dalam komunitas kristen di kampus. Transformasi, pengenalan, dan penempaan diri yang berkarakter kristus terjadi di masa itu, di situ. Tentu saja sangat berdampak apa yang ditempa pada diri saya, teringat saya dan yang ada pada saya yang dibawa ke keluarga di rumah, ke pertemanan kampus juga dalam studi, dan dalam mempertimbangkan tempat selanjutnya pada karir. Oh juga yang sama pentingnya; bagaimana kini saya memandang diri dan memperlakukan diri sebagai citra Allah dan menifestasi untuk kemudian ikut sekerja menjadi agen-Nya di dunia.

Yap, itu masih sekelumit sisi yang ideal dan itu juga yang didoakan dari pergerakan komunitas dan pelayanan kampus. Namun dalam perjalanannya, saya menemukan sisi pahit yang luput dari perhatian komunitas ini, tidak disadari juga ada buah yang mungkin membusuk sebagai akibatnya, dan tidak menutup kemungkinan pertumbuhan lain di luar komunitas ini.

Tulisan ini bukan sebuah kecaman. Dengan pengakuan keberdampakan dan keberkenanan apa yang dilakukan oleh persekutuan pelayanan kampus, ada kisah yang tidak terceritakan luas dan penting untuk diperhatikan dari “kesibukan” yang terlanjur meroda di sini. Semoga tulisan ini dapat membantu pembaca dan saya untuk lebih peka apa mau-Nya.


Foto oleh Karyme França dari Pexels


Bias Sudut Pandang Pribadi

Persahabatan dengan Kristus mengubah hidup dan memberikan alasan esensial kenapa saya hidup. Semakin saya didekatin sama Kristus oleh komunitas ini, semakin saya yakin komunitas ini adalah “alat andalan-Nya”. Rasa kepemilikan yang disertai dengan antusiasme dan semangat ‘45 membuat saya berusaha seaktif mungkin untuk dapat berguna melalui komunitas ini, berguna sebagaimana ada orang-orang hebat yang digunakan-Nya yang bisa mengubah arah pandang hidup saya dulu. Ditularkan dan menularkan, mengusahakan rantai kasih yang diyakinkan pula oleh Amanat Agung yang dikobar-kobarkan itu.

Tapi ternyata di baliknya ada cerita yang berkata lain. Seseorang bercerita begini ke saya.

“Aku juga dulu dijangkau dan diajak kok sama komunitas kristen di kampusku dulu. Iya, mungkin karena ramai ya konseling masalnya waktu itu makanya gak terlalu menjangkau hati.
Aku yang pada saat itu sedang merasa bersalah dan tertolak karena tidak melanjut kepengurusan dulu di komunitas gereja di masa SMA (kemudian merantau kuliah luar provinsi), aku juga yang saat itu sedang merasa terkhianati oleh komunitas pelayanan paduan suara di sekolah yang aku inisiasi sendiri, ditanya sama kakak konselor apa masalahku.”

Saudara perempuanku ini orang yang ceria dan nyaris tidak tahu caranya mengekspresikan kesedihan. Menyatakan sedih dan masalah pribadi kepada orang asing bukan caranya. Maksud saya, tanpa pembelaan dan keberpihakan, kondisinya seperti itu.

“Aku belum mau cerita dong. Selain dia orang yang belum aku kenal dekat, aku juga kalau cerita nanti yang makin sedih. Aku gak tahu cara memperlakukan dan mengomunikasikan kesedihan di usia itu. Terus kok si kakak ini kayaknya maksa aku untuk cerita ya, aku makin merasa terintimidasi … Iya, iya, aku tahu kok dia berniat baik, tapi beginilah konflik batinku yang tidak terucapkan di situ. Kesel dan aneh gitu loh, Chik. Kenapa harus ada masalah, kenapa bahan pembicaraan utama itu masalah. Kalau aku gak ada masalah, gak ada cerita gitu? Itu jadi masalah? Makanya kakak itu kayak yang maksa dan yakin aku ada masalah, betul pun dia memang aku ada masalah, tapi ya ngertilah kau maksudku, cara kerjanya itu gak kayak gituloh, Chik.

Yang iyanya, dia bilang kalau dia mau mendengarkan, kalau aku ada masalah gapapa ceritain aja ya, dia ada untukku. Waktu itu aku sedang terkhianati dan menarik diri dari banyak orang, karena orang-orang itu mengecewakan bagiku dan menyakitkan. Kok ada manusia yang dengan yakinnya meyakinkan aku dia adalah orang terbaik.”

Sebagai konselor atau pemimpin komsel, saya paham sikap yang berusaha untuk meyakinkan orang lain bahwa “aku ada untukmu, kamu tidak sendiri, ayo kita sama-sama lalui jalan yang berat dilalui sendiri, bahwa ini adalah tempat terbaikmu bertumbuh karena aku dulu juga kayak kamu”. (Baca juga:Penginjil itu Jualan Tuhan?)

Saya menyadari sudut pandang pribadi bukan sebuah formulasi. Itu masih cuma satu sudut dari banyak sudut. Apa yang terjadi di aku tidak sama yang terjadi di orang lain. Caraku merespon dan caraku menerima tidak sama dengan orang lain. Caraku ingin diperlakukan belum tentu sama orang lain ingin diperlakukan. (wkwk selanjutnya aku menyebut diri sebagai “aku” aja ya, formal kali ah bilang saya)


Pertanyaannya adalah: Emang iya kita adalah sosok yang terbaik untuk menampung masalah? Emang iya ini adalah tempat terbaik?



Efek Kepercayan Diri yang Berlebih

Semakin kita lihat firman serelevan itu di hidup kita, semakin kita tahu firman itu kebenaran paling mutlak. Semakin kita mau menguasai firman, semakin di antara kita juga merasa dibenarkan firman.
Pernah gak kita yang waktu orang akhirnya mau curhat ke kita, kita langsung benar-benar merasa “ini waktunya aku dipakai Tuhan, gak boleh aku menyia-nyiakan yang dipercayakan-Nya, aku harus on dan menyatakan Kristus dimana yang aku ingat bisa berhubungan sama firman”?

Gak jarang (dan mungkin gak sadar), kita malah jadi pengkhotbah sama dia, yang pada saat dia itu curhat karena butuh teman bukan butuh pengkhotbah. Ada banyak pengkhotbah yang dia temui, tapi sedikit bahkan gak ada teman yang mungkin ia bisa temui, makanya dia temui kita dan curhat ke kita. Pada dasarnya orang mau curhat, kita sendirilah yok kalau curhat, kan posisinya yang sedang mau didengarkan daripada mendengarkan.

Akhirnya kita berfokus sama kaca mata sendiri, bukannya menggumulkan si kawan malah bergumul sendiri apa yang mau aku bilang habis ini, dan gak paham yang sebetulnya apa yang dibutuhkan sobat ini dibalik curhatannya dia. Boro-boro memahami yang dibutuhkannya, memahami yang disampaikannya aja kita belum tentu.


Anak komunitas, Anak Surga

“PD kali dia kayak orang yang paling bahagia di sini. Kayak yang udah paling bener aja. Kayak yang kalau gak melayani di persekutuan ini salah aja. Kayak yang kalau gak anak komsel gak bisa ketemu Yesus aja, kayak yang non-AKK gak selamat aja, gak berdampak. Yang non-AKK kadar kemanusiaannya itu lebih dikit dari dia.” Juga merupakan kesah saudara perempuanku yang tadi.

Aku mengakui konsep kelompok kecil yang kita teladani dari Yesus sendiri cukup efektif dalam pengenalan dan pertumbuhan iman. Tapi yang perlu diingat bahwa bukan satu-satunya, kelompok kecil adalah salah satunya. Kuasa roh kudus lebih luas dari yang kita tahu. Siapa sih kita bisa membuat batas pertumbuhan dan kuasa?

Foto oleh Eileen lamb dari Pexels

Sepakat ya kalau antar pelayanan itu bukan saingan, kalau semua pelayanan yang dalam nama Kristus itu satu tubuh yang mungkin dengan visi masing-masing tapi tetap satu kepala. Memahami seorang alumni yang cukup emosional karena getol harus semua mahasiswa baru dijangkau oleh komunitas kristen kampus dan agaknya kurang yakin dengan kemungkinan dijangkau persekutuan lingkungan kos, apalagi kecemasan (yang menurutku berlebihan) akan mahasiswa baru yang tidak terjangkau oleh komunitas kristen manapun. Ada sudut pandang yang perlu kita perluas melihatnya.

Kisah pertumbuhan iman yang tertulis di alkitab membuktikan bahwa kelompok kecil adalah salah satu konsep. Ya, kita pengikut Kristus, mengikuti cara Kristus. Dan ya, kita mengakui Kristus yang adalah Allah dan Roh Kudus dan keilahian kebertigaannya yang satu. Kisah perjalanan iman rasul Paulus merupakan pertumbuhan iman yang tidak melalui kelompok kecil, ia ditangani langsung oleh Allah, setelah masa Yesus. Dia bukan bagian keduabelas murid namun cukup mengambil peran penting dan dominasinya dalam penulisan kitab Perjanjian Baru. Aku juga percaya kemungkinan banyak tokoh lain yang tercatat maupun tidak dan manusia lain dari generasi dulu hingga generasi sekarang, yang mengenal Kristus tidak melalui kelompok kecil.

Ya, aku juga sangat cemas dengan pergaulan kuliah yang sangat banyak pilihan dan bagaimana para pemuda ‘baru saja’ dilepas dari jangkauan orang tua. Kita yang di dalam maupun luar komunitas juga sama-sama gelisah dengan keberluasan kemungkinan yang terjadi pada mahasiswa bersanding dengan keterbatasan kapasitas komunitas kita. Mungkin dia yang bakal dijangkau komunitas kampus, kalau tidak ya dets oke dijangkau persekutuan lingkungan kos, iya kalau ikut berteman di gereja, sangat baik pula jika dia punya persahabatan seiman maupun beda iman yang membangun. Tapi bagaimana pada kemungkinan di luar itu pula, bukan bertumbuh seperti keduabelas murid maupun seperti Paulus?


Terpanggil dan Dipanggil ke Luar Komunitas

Di sinilah kehadiran panggilan-panggilan ke luar komunitas. Panggilan yang menjangkau keberagaman latar belakang dan kehidupan. Kuno kalau kita masih kecewa atau merasa gagal jika teman kita memutuskan untuk melanjutkan keberdampakannya di komunitas lain, jika teman kita mau mengusahakan kasih di luar komunitas (pelayanan kampus atau pelayanan gereja). Konservatif kalau kita yang memutuskan untuk melayani dan menjadikan diri persembahan ke lingkungan luar merasa gagal dan merasa bersalah kepada diri sendiri.

Woi, ini juga bukannya aku membela teman-teman yang belum berani mempersembahkan diri. Ini justru panggilan keberanian buat kita semua untuk saling menghargai keputusan akan ketidakhadirannya di komunitas kita berada demi kehadirannya di tempat lain, panggilan keberanian untuk mau terus jadi bejana yang siap dibentuk bahwa gak mesti sempurna dulu, justru di sini kita sama-sama belajar, sama-sama disempurnakan di komunitas ini.

Pun bagi kita yang merasa punya tanggung jawab untuk hadir di beberapa tempat secara total, tapi kita harus memilih di antaranya. Aku suka mengingat 2 Korintus 12:9. Kalau tangan kita terlalu sedikit untuk menampung yang banyak, mata kita terlalu sempit untuk menjangkau yang luas, yuk kita regenerasikan, percayakan, dan meyakini kuasa-Nya dalam doa untuk mengerjakan bagian yang tidak bisa kita kerjakan, berikan kesempatan bagi tambahan tangan-tangan dan mata-mata yang lain untuk Dia berpengaruh lebih luas juga. Tuhan Yesus aja berani dan yakin memercayakan orang lain, masa kita enggak.

Jika kita adalah yang merasa dimusuhi teman lama di komunitas lama, kasihilah musuhmu. Jika kita adalah yang memusuhi diri sendiri, menyalahkan diri sendiri, diselimuti penyesalan, kasihilah dirimu yang kau musuhi itu. Jika kita adalah yang menghadapi lingkungan yang kita putuskan untuk layani dengan berani, berhadapan langsung dengan musuh di medan perangnya kita, kasihilah musuhmu.

Soalnya ya, permusuhan itu malah menghalangi karya-Nya yang mestinya tidak akan berakhir di hidup kita. Lahir baru, pertobatan setiap hari, itu pengharapan utama untuk kita mengasihi musuh yaitu memaafkan dan memulai lagi. Kalau bisa memulai lagi, kenapa malah berhenti di sini?




*Eh, ngomong-ngomong aku kemaren juga baru mengkaji Matius 5:38-48 bersama teman-teman. Perintah gila gak masuk akal dari “Mengasihi musuh” itu justru adalah perintah paradoksalnya dari: aku mengakui musuhku namun aku memutuskan untuk tidak mengadakan permusuhan. Ini perintah untuk tidak bermusuhan sama sekali justru. Haha, nice try. We’ve got your point, Jesus!




Eksklusivitas Komunitas Eksklusivitas Komunitas Reviewed by Celoteh Ngoceh on July 04, 2020 Rating: 5

No comments