Seragam yang Beragam


Menganut kepercayaan yang kita imani, demikian sobat kita yang lain menganut kepercayaan yang mereka imani. Sebagaimana prinsip, persepsi, dan nilai kekristenan yang kita anggap adalah kebenaran, demikian sobat kita terhadap nilai keagamaan mereka pula. Sebagaimana kita mungkin tidak mengerti beberapa nilai ketuhanan agama lain, demikian sobat pemeluk agama lain mungkin juga tidak paham nilai ketuhanan kita.


Kalaulah kita mengimani jalan kebenaran dan hidup hanya kristus, pun sobat lain mengimani jalan kebenaran mereka masing-masing yang paling benar tanpa kompromi, lalu kenapa ada kesepakatan dari para pahlawan kemerdekaan Indonesia untuk memformulasikan bunyi sila pertama “Ketuhanan yang maha esa”? Begitu kompaknya semua pihak bekerja dan mengusahakan padahal dari latar belakang agama berbeda demi cita-cita yang sama; merdeka. 

Ada toleransi dan tenggang rasa dalam memperbaiki sila pertama dari “syariat Islam” menjadi “yang Maha Esa”. Apakah ada konsep ketuhanan yang tidak teregenerasikan sempurna ke generasi Indonesia yang sekarang makanya kita tidak sekompak yang dulu?  Harus sama dan rebutan massa untuk dibawa pindah agama ke agama kita? Apa kemuliaan Tuhan berbanding lurus dengan kuantitas pengikut-Nya?
Aku pun tidak tahu.

Foto oleh mentatdgt dari Pexels

Toleransi Beragama

Toleransi itu tidak sebatas mengizinkan orang lain beribadah. Toleransi juga termasuk tidak merasa superior, tidak menilai rendah atau memandang negatif akan apa yang dipercaya orang lain atas asumsi maupun perbandingan dengan kepercayaan kita sendiri, tidak terganggu jika berbeda. Intoleransi biasanya dipicu oleh minimnya wawasan akan apa yang dipercaya orang lain. Sebagaimana kita bisa mengimani nilai yang kita percaya baik, kita pun menerima orang lain mengimani nilai yang mereka percaya baik.

Contohnya ibuku celetuk, “Itu aja mesti disensor pinggang belakangnya. Kan tidak menunjukkan dan memancing apa-apa. Toh konteksnya dia lagi dipijit. Gak pake kerudung aja dia boleh kok”. Kami sedang menonton reality show, seorang ibu berhijab sedang menjalani fisioterapi. “Iya, mi. Itu namanya syar’i, komitmen untuk tutup aurat. Temenku ada yang belum berkerudung, yang kerudungnya sebahu, ada juga yang udah komitmen kerudung seperut, ada juga orang yang komitmen pakai cadar. Kalau udah komitmen gak aci mundur gitu loh, mi. Nah ibu ini udah komitmen berkerudung, jadi komit tidak menunjukkan kulitnya yang dia komit untuk ditutup, mi. Makanya siaran disensor untuk menghargai ibu ini tanpa mengubah adegan dan jalan cerita show-nya.”

Di tengah penjelasanku ibuku masih bertanya akan ketidaktahuannya. Sampai penjelasanku selesai tentang komitmen tingkatan berkerudung, beliau mengerti, mengiyakan, dan menerima.

Senang setiap kali mengingat sobatku seorang muslimah yang taat namun toleran, namanya Fitri Ananda. Dia teman pertamaku yang beragama islam, kenal di umur kuliah, sebelah kamar kos, yang selama ini aku bersekolah dan tinggal di lingkungan seagamaku kristen. Dia yang salat lima waktu, sopan tutur katanya sampai aku ikutan melembut tidak tega bertutur khas Siantar, suka berbagi (ingat sekali aku dikasih jeruk saat kenalan, saat dia dan ayahnya memasuki kos). Setiap pulang kampung, ia bagi-bagi gulai ayam, pernah juga rendang. Mengingatnya, saat aku juga pulang kampung, aku jadi juga minta ke ibu untuk memasak lebih dan bungkus untuk dibagi.

“Fitriiiii… Oh Fitri lagi pergi, ya. Kak Tamiiii, ini adah gulai ayam, kak!” kataku dengan ceria polos kepada tetangga kosku sebelah kiri yang juga seorang muslimah. “Oh, kakak udah makan, dek. Makasih, ya. Si Fitri juga itu. Bagi sama Elsa aja, dek.” Lalu aku main ke kamar Elsa, “El, lucu kali lah. Kan bisa sih mereka juga ambil gulaiku untuk makan malam lumayan loh. Kalaupun siang sudah makan. Dan darimana kakak itu tahu Fitri gak butuh gulai ayam ini” “Ya ampun, Chik. Orang islam takut peralatan kita atau bahan masakan kita gak halal loh,” kata Elsa yang dulu SMA Negeri dengan teman yang lebih beragam. Meskipun Fitri selalu kasih aku minum pakai gelasnya, dan dia mau minum pakai gelasku. Tanpa mengetahui perbedaan yang dianut oleh sesama umat islam, aku belajar bahwa toleransi adalah menerima keunikan iman tiap orang.

Oke, baiklah. Aku kira haram sebatas daging babi yang kasat mata saja. Di kepulanganku berikutnya maka aku bawakan roti ketawa kemasan khas Siantar. Hahaha, halal dan diterima dengan sukacita!

Fitri juga pernah bertanya kenapa orang kristen natal berkali-kali. Aku juga pernah bertanya (dengan bodohnya. Soalnya Elsa tepuk jidat saat aku menanyakan itu) kenapa ke warung aja mesti pake kaus kaki hehehe. Ternyata aurat bukan cuma rambut. Fitri juga buru-buru tutup rambutnya dengan kerudung kalau bapak tukang galon datang. Dia suka baca buku, dia suka belajar dengan jadwal tetapnya sendiri, dindingnya ditempel-tempel catatan kecil tentang farmasi, sangat tentram, kalau dia ngaji juga kedengaran sampai ke kamar, indah seperti bernyanyi. Dia juga heran aku yang terlalu fleksibel dan cenderung selalu bersuara (dia kira aku berantam di telepon, padahal aku dan kakakku kalau berbicara memang seseru dan seantusias itu), selalu kedengaran musik atau karena aku ngomong sendiri, dia suka permainan biolaku, dia juga kagum dengan dinding kamarku yang digambar-gambar.

Berteman, tinggal berdampingan, tanpa penilaian negatif, tanpa percaya stereotip, mempersilakan untuk percaya, dipersilakan untuk percaya, menghargai kepercayaan orang lain, menerima bahwa kepercayaan kita berbeda namun tidak berhenti untuk saling berbagi, aku tidak tahu apa lagi yang lebih indah dari itu.



Manusia dan Yang Diikutinya

Kita bisa sedikit tahu kebiasaan atau upacara keagamaan Hindu dari film india, bisa tahu juga tentang yang dianut agama islam pada beberapa prosa, bisa lihat cara hidup dan cara pikir agama budha dari metode penyembuhan diri dan kutipan bijaknya.

Jika memang jalan menuju selamat kita berbeda, Tuhan kita beda, Tuhan mana yang jahat? Kalau Tuhan jahat, ya maka tidak mau dong orang percaya agama yang begitu. Okeh, sepakat ya jikalau berbeda, semua Tuhan itu baik (terlepas apakah esa atau tidak). Nah, orang yang mengikuti Tuhan yang baik, diarahkan untuk ikut baik sebaik Tuhannya yang baik dong. Aku yakin orang yang tidak baik maka sedang tidak mengikuti atau tidak sadar telah melenceng menjauh dari Tuhannya yang baik itu. Hakikat manusia beragama persis seperti namanya, yaitu “pengikut”. Secitra dengan Allah.

Kalau ada yang percaya manusia adalah ciptaan Allah (agama abrahamik), ada yang percaya bahwa manusia adalah bayang-bayang yang sama menuju kesatuan dengan Tuhannya, ada yang percaya manusia adalah kelahiran kembali, dengan perbedaan ini tetap ada yang sama; manusia berharga. Seberharga dia dan orang lain adalah ciptaan Allah, adalah bagian dari Tuhan, adalah rancangan Tuhan yang semuanya baik itu. 

Jika begitu apakah seseorang berkurang kadar ke-manusia-annya jika dia adalah yang beragama lain dari kita? Bukannya kerangka tubuh kita sama, anatomi kita sama, lalu dengan beda agama jadi spesies berbeda? Kita masing-masing dapat menjawabnya dengan siapa manusia itu dari yang kita percaya.
    


Belajar dari Agama Lain

Kalaulah alkitab bukan bernama alkitab, alquran bukan bernama alquran, tipitaka bukan bernama tipitaka, weda bukan weda, sebuah kitab bukan beridentitas milik pengikut kepercayaan tertentu, mungkin ia akan dapat dibaca dan diakses oleh semua orang yang mengikut maupun tidak tanpa rasa tabu. Sayangnya semua buku harus punya judul sebagai identitas.

Aku tidak tahu dengan aturan baca kitab lain jika ada aturannya. Tapi alkitab, sejauh ini, Allah tritunggal dan dalam perintah-Nya, pun oleh para nabi, tidak ada eksklusivitas apapun dalam membacanya. Dengan kata lain alkitab bukan cuma milik orang kristen, bukan hanya boleh dibaca oleh orang kristen, namun berisi firman yang dipercaya kristen. (Semoga kitab lain juga begitu)

Padahal setiap agama punya filsafatnya (pemikiran dan pengharapan indah) masing-masing. Aku beragama kristen sungguh indah mengimani cara hidup dan kepercayaan kristen, keberadaan dan peran Tuhanku kristus. Jika kita bertanya teman beragama islam, budha, atau hindu, juga mereka akan mengakui indah yang mereka yakini. Baiklah jika itu terlalu ekstrim untuk mempelajari dan membaca kitab agama lain (kitab agama sendiri aja belum tamat wkwk). Namun kita tetap bisa belajar dan menikmati keindahan dari manusia lain yang beragama beda ini.

Islam

Aku selalu kagum dan belajar bagaimana umat islam mengintegrasikan dan mendasari semua bidang hidup dan disiplin ilmu formal maupun informal pada ketuhanannya yang tegas secara tersurat. Sobat kita tidak pernah malu untuk mengucap salam maupun ucap sehari-hari bahasa asalnya yaitu bahasa Arab. Ibadah lima kali sebagai rehat dan waktu teduh berelasi dengan Tuhan, upaya kendali diri dan sadar dalam perilaku di dalam melanjutkan kesehariannya. Mereka tetap waspada dalam antusiasme dan berupaya terus menghidupi hakikat kemanusiaannya mengingat itu yang membawa keselamatan yang sobat kita percaya.

Budha

Tidak egois dan tidak merasa superior bahkan dengan makhluk ciptaan lain sekalipun. Tolong-menolong adalah cara sayang mereka kepada sesama manusia, sedangkan menjadi vegetarian berdasarkan tingkatan komitmen yang dikomitmenkan, serta meminimalisir penggunaan plastik dan kertas tisu sekali pakai adalah cara sayang mereka kepada hewan dan tumbuhan. Peduli biodiversitas dan keberlangsungan hidup yang berkelanjutan, aku rasa itu cara paling rendah hati dan peduli terkeren dalam memerankan hakikatnya untuk menjadi citra Allah.

Hindu

Hmm.. Sejujurnya aku betul-betul jauh dari lingkungan teman beragama hindu. Temanku yang beragama Hindu satu dan masih satu, namanya Komang Rusmayanti (Hai, apa kabar?). Sayang sekali aku belum berkesempatan untuk mengenal dan memerhatikan lebih jauh cara hidup keseharian mereka.



Nah, Kalau Kristen Sudah Bagaimana?

Menjadi seorang kristen bagiku adalah sebuah anugerah; anugerah menyadari, menerima, dan meneruskan keselamatan-Nya. Kehormatan apa lagi yang melebihi kepercayaan-Nya menjadikan manusia yang cuma ciptaan ini sebagai rekan sekerja-Nya? Bukan relasi tuan dan hamba, melainkan sahabat, yang diberitahukan semua rencanya-Nya (Yohanes 15:15), tidak ada yang terahasiakan; semua sudah dikasih tahu tersurat maupun tersirat dalam firman, yang tersirat luas untuk kita tafsir dan dilibatkan dalam pekerjaan firman. Yaitu firman yang hidup di hati kita sendiri dalam roh kudus, yang ada dalam orang lain juga oleh roh kudus, yang wujud fisiknya pernah ke bumi yaitu Kristus, dan yang menciptakan yaitu Allah, dan kebersatuan semuanya. Firman. Waw.

Cuma, ya, itulahya. Ketidaksecitraan yang mungkin dihalangi kedagingan dan dosa, penolakan persahabatan, kelalaian serekanan, Dia udah peka ke kita, kita yang malas peka ke Dia oleh Firman yang luas berkuasa itu tadi, yang membuat seorang manusia kristen tidak begitu kristen.

Lagi-lagi aku belajar dari penganut agama lain; Gandhi. Ada beberapa kesaksian bahwa Mahatma Gandhi terinspirasi ajaran Kristus dan ditolak gereja saat ingin tahu lebih pada iman Kristen. Walaupun pernyataan ini tidak memiliki sumber yang tegas dan jelas, yang pasti bisa kita contoh beliau berhasil menjadi inspirasi hidup bertoleransi di India hingga pada kemerdekaannya. Ia tidak kecewa pada ajaran yang diimani banyak orang, meskipun orang-orangnyalah yang tampak mengecewakan oleh kelakuannya yang tidak sesuai dengan apa yang mereka anut. Ia tidak kapok. Ia begitu rendah hati menerima nilai kebaikan yang dianut ajaran lain, selalu merangkul tanpa meninggalkan kepercayaannya sendiri.

Eh, bahas-bahas keberagaman, jadi ingat juga dengan Lukas 10:25-37. Perumpamaan dari pertanyaan kemanusiaan bahwa yang menunjukkan kita kristen bukan agama (sistem norma kepercayaan) atau apa yang kita baca. Yang menunjukkan kita pengikut kristus adalah apa yang kita citrakan (lakukan) setelah tahu apa mau-Nya dari firman dan persahabatan serekan.

Tuhan Yesus sendiri dalam menginjili juga tidak pernah menggunakan cela dari yang telah dianut orang lain. Tanpa membanding-bandingkan, Yesus menginjili dari apa yang orang-orang butuhkan, hadir sebagai sahabat yang tulus, bukan menghakimi apalagi mendikte. Kita bisa teladani bagaimana Ia selalu membiarkan pendengar khotbah-Nya untuk yang selalu memetik kesimpulannya sendiri, bagaimana orang-orang yang ditawarkan untuk memutuskan sendiri mau mengikut atau tidak. 

Ajaib juga saat menyaksikan Yohanes 4:1-42, kisah Perempuan Samaria yang hina. Bagaimana ia menerima pengampunan, menyaksikan Tuhan setelah yang tadinya belum paham siapa yang di hadapannya (ayat 25), tanpa disuruh seketika hidupnya berbalik dan menjadi saksi yang berdampak di lingkunganya (ayat 28). Tanpa disuruh, tanpa dihakimi, tanpa diserobot.

Pluralisme seharusnya bukan topik yang tabu untuk dibahas lebih dalam. Mempelajari apa yang dianut orang lain sebaiknya bukan semata-mata untuk menginjili melalui pencarian celanya. Kasih Kristus bukan kasih oportunis, kasih yang kita anut adalah kasih yang otentik karena yang sudah dikasihi terlebih dahulu oleh-Nya. 


Hmm.. Kira-kira, apa ya keindahan yang bisa dipelajari sobat kita agama lain dari kita yang beragama kristen?



Referensi:

Seragam yang Beragam Seragam yang Beragam Reviewed by Celoteh Ngoceh on July 18, 2020 Rating: 5

No comments