Jangan- Jangan Dia Sengaja Menempatkanmu di Jurusan yang Salah Ini

 SD, SMP, SMA, hingga di Perguruan Tinggi, kita belajar terus, mengahadapi soal terusl Kita menentukan standar keberhasilan, cita- cita, dan strategi kita sendiri untuk mengejar apa yang menurut kita membanggakan. Berjibaku dengan deretan tulisan, soal, kalkulator dan pulpen sudah jadi gaya hidup. Sampai kapan dan untuk apa?


Dari rumah diberangkatkan untuk belajar dengan baik, demikian di sekolah menuntut murid untuk mampu mengikuti pelajaran dengan baik. Berteman sekaligus bersaing saling berlomba untuk terus lebih baik, bahkan jika memungkinkan, jadi yang terbaik. Kian terus tersistem, mengantongi nilai dan pengetahuan supaya melanjut ke jenjang sekolah favorit. Terus hingga ke perguruan tinggi, bersaing semakin ketat bahkan dalam titik mempertaruhkan harga diri, saling berusaha merebut hati orang- orang yang kita sayangi, kelaurga di rumah maupun di sekolah. Sampai kita tidak sadar telah tersistem untuk menghamba manusia, bahkan menghamba diri.

Bersama para jagoan Kristus: Andeska, Mendo, Jhon, Simon, Bang Jere, Kak Monika dan Flo (dari kiri)

Sebagai mahasiswa, yang telah menempuh pendidikan lebih dari satu dekade, adakah kita berhenti sejenak, kepayahan dan mulai letih, kemudian jadi merenung, “Sebenarnya sampai kapan, untuk apa semua ini?” “Supaya mendapat pekerjaan yang baik. Kelak mapan dalam keuangan dan kehidupan sendiri bahkan menjadi berkat bagi orang lain,” barangkali.

Jawaban tersebut adalah cita- cita yang tidak salah. Saya kuliah di jurusan akuntansi karena propek pekerjaannya saya yakini cukup menjanjikan dalam hal keuangan dan kehidupan. Saya menganggap pilihan ini baik. Saya juga bercita- cita untuk membahagiakan orang tua. Ini adalah pilihan yang tepat untuk menjadi garam dan terang.

Tapi di tengah perjalanan studi saya, saya sampai kepada titik jenuh, bersungut- sungut, sepertinya ada yang salah. dan kembali kepada perenungan, bermaksud untuk menemukan dimana salahnya. Motivasi awal saya di jalan yang saya tempuh saat ini, yang dulunya sangat saya ingini, seperti yang saya sebutkan sebelumnya, baik adanya, tepat. Saya juga jadi diri sendiri kok pilih jurusan akuntansi. Saya dulu berprestasi di bidang ini, tapi anehnya kenapa terasa janggal di tengah jalan.

Peter Scazzero, seorang pendeta di New York, pada bukunya “Emotionally Healthy Spirituality” juga mengalami hal yang sama sebelum saya dan mungkin teman- teman. Ia menjelajah diri, mengkaji dengan firman maupun referensi lainya, dan menemukan sebuah fenomena bahwa tanpa sadar, kita menghidupi kehidupan orang lain atau setidaknya harapan orang lain bagi kita. Saya percaya diri dan tidak buruk dalam prestasi akademik karena saya ingin membanggakan orang tua, dan itu membahagiakan, saya melakukannya dengan sepenuh hati. Pertemanan saya baik dan saling mendukung, sama- sama senang jika kehidupan kami sama- sama baik. Ketika semuanya bahagia bukankah sekali jalan dalam misi menjadi garam dan terang? Inilah diri saya, yang terbentuk dari lingkungan yang memberi sistem pada pikiran dan kepribadian saya. Saya menghidupi kehidupan dan harapan keluarga, guru, dan teman- teman saya.

Firman Tuhan yang harusnya jadi pondasi dimana saya berdiri malah saya perlakukan sebagai payung rasa aman ketika saya jadikan harapan manusia (diri dan orang lain) sebagai pondasinya. Saya menjadikan kehendak Tuhan sebagai referensi bukan sebagai landasan. Di sini salahnya, bias pemikiran dalam pengambilan keputusan!

Tapi seperti yang dikatakan Albert Humphrey dalam analisis SWOT, di dalam setiap ancaman selalu ada peluang. Pengakuan kesalahan dan minta pengampunan sebaiknya kita utarakan dalam doa dahulu. Pengampunan selalu ada dari-Nya untuk yang kembali kepada-Nya. Setelah itu selesaikan dengan mengampuni diri sendiri dan mulai hidup baru, hidup yang bukan manusia melainkan yang Allah kehendaki.

Kita saat ini di sini tidak lepas dari kendali Allah. Mungkin teman- teman pernah di satu titik merasa sedang di tempat yang salah, seharusnya tempat kita bukan di sini  Pahami dan segera ikuti kegerakan-Nya. Pahami kira- kira kenapa kita di letakkan di sini, apa yang kita gelisahkan sehingga merasa ini bukan tempat kita. Kembali ingat, interaksi sosial tidak hanya “menyistem” diri kita, tetapi juga kehidupan orang lain. Ambil peluang lingkungan dimana kita dikirim Allah ini, jadilah sahabat dalam perjalanan rohani orang lain. Berilah kesaksian dan nyatakan kemuliaan-Nya dalam keintegritasan kita menjalani studi. Beri pengaruh baik dari segala sesuatu yang kita rasa tidak seharusnya di sini. Mungkin kita pernah merasa salah jurusan, tapi bisa jadi Tuhan menetapkan ini jurusan yang tepat sebagai garis depan kita dalam memberikan buah dari-Nya kepada orang lain melalui diri kita (Green, 2017).



Roma 9:20-21 (TB) Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya: "Mengapakah engkau membentuk aku demikian?"
Apakah tukang periuk tidak mempunyai hak atas tanah liatnya, untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang biasa?



Mahasiswa Kristen bukan pengangguran terselubung melainkan pelayan terselubung. Seraya menghidupi pelayanan kita yang sekarang, mempersiapkan pelayanan kita berikutnya sama pentingnya. Apa ya tujuan aku diletakkan di sini, kerinduan apa yang Tuhan beri untuk aku lakukan setelah ini? 

Bias dalam manajemen pikiran dan pengambilan keputusan jangan lagi menghalangi kehendak Tuhan. Putuskan dan siapkan diri sehingga nantinya kita bisa dipakai-Nya lebih dahsyat lagi!



Nah, setelah lulus dari sini nanti mau jadi apa?









Jangan- Jangan Dia Sengaja Menempatkanmu di Jurusan yang Salah Ini Jangan- Jangan Dia Sengaja Menempatkanmu di Jurusan yang Salah Ini Reviewed by Celoteh Ngoceh on June 06, 2019 Rating: 5

No comments