Jangan- Jangan Dia Sengaja Menempatkanmu di Jurusan yang Salah Ini
SD, SMP, SMA, hingga di
Perguruan Tinggi, kita belajar terus, mengahadapi soal terusl Kita menentukan standar keberhasilan, cita- cita, dan strategi kita sendiri
untuk mengejar apa yang menurut kita membanggakan. Berjibaku dengan deretan
tulisan, soal, kalkulator dan pulpen sudah jadi gaya hidup. Sampai kapan dan untuk apa?
Dari
rumah diberangkatkan untuk belajar dengan baik, demikian di sekolah menuntut
murid untuk mampu mengikuti pelajaran dengan baik. Berteman sekaligus bersaing
saling berlomba untuk terus lebih baik, bahkan jika memungkinkan, jadi yang
terbaik. Kian terus tersistem, mengantongi nilai dan pengetahuan supaya
melanjut ke jenjang sekolah favorit. Terus hingga ke perguruan tinggi, bersaing
semakin ketat bahkan dalam titik mempertaruhkan harga diri, saling berusaha
merebut hati orang- orang yang kita sayangi, kelaurga di rumah maupun di
sekolah. Sampai kita tidak sadar telah tersistem untuk menghamba manusia,
bahkan menghamba diri.
Sebagai
mahasiswa, yang telah menempuh pendidikan lebih dari satu dekade, adakah kita
berhenti sejenak, kepayahan dan mulai letih, kemudian jadi merenung,
“Sebenarnya sampai kapan, untuk apa semua ini?” “Supaya mendapat pekerjaan yang
baik. Kelak mapan dalam keuangan dan kehidupan sendiri bahkan menjadi berkat
bagi orang lain,” barangkali.
Jawaban
tersebut adalah cita- cita yang tidak salah. Saya kuliah di jurusan akuntansi
karena propek pekerjaannya saya yakini cukup menjanjikan dalam hal keuangan dan
kehidupan. Saya menganggap pilihan ini baik. Saya juga bercita- cita untuk
membahagiakan orang tua. Ini adalah pilihan yang tepat untuk menjadi garam dan
terang.
Tapi
di tengah perjalanan studi saya, saya sampai kepada titik jenuh, bersungut-
sungut, sepertinya ada yang salah. dan kembali kepada perenungan, bermaksud
untuk menemukan dimana salahnya. Motivasi awal saya di jalan yang saya tempuh
saat ini, yang dulunya sangat saya ingini, seperti yang saya sebutkan
sebelumnya, baik adanya, tepat. Saya juga jadi diri sendiri kok pilih jurusan
akuntansi. Saya dulu berprestasi di bidang ini, tapi anehnya kenapa terasa
janggal di tengah jalan.
Peter
Scazzero, seorang pendeta di New York, pada bukunya “Emotionally Healthy
Spirituality” juga mengalami hal yang sama sebelum saya dan mungkin teman-
teman. Ia menjelajah diri, mengkaji dengan firman maupun referensi lainya, dan
menemukan sebuah fenomena bahwa tanpa sadar, kita menghidupi kehidupan orang
lain atau setidaknya harapan orang lain bagi kita. Saya percaya diri dan tidak
buruk dalam prestasi akademik karena saya ingin membanggakan orang tua, dan itu
membahagiakan, saya melakukannya dengan sepenuh hati. Pertemanan saya baik dan
saling mendukung, sama- sama senang jika kehidupan kami sama- sama baik. Ketika
semuanya bahagia bukankah sekali jalan dalam misi menjadi garam dan terang?
Inilah diri saya, yang terbentuk dari lingkungan yang memberi sistem pada
pikiran dan kepribadian saya. Saya menghidupi kehidupan dan harapan keluarga,
guru, dan teman- teman saya.
Firman
Tuhan yang harusnya jadi pondasi dimana saya berdiri malah saya perlakukan
sebagai payung rasa aman ketika saya jadikan harapan manusia (diri dan orang
lain) sebagai pondasinya. Saya menjadikan kehendak Tuhan sebagai referensi
bukan sebagai landasan. Di sini salahnya, bias pemikiran dalam pengambilan
keputusan!
Tapi
seperti yang dikatakan Albert Humphrey dalam analisis SWOT, di dalam setiap
ancaman selalu ada peluang. Pengakuan kesalahan dan minta pengampunan sebaiknya
kita utarakan dalam doa dahulu. Pengampunan selalu ada dari-Nya untuk yang
kembali kepada-Nya. Setelah itu selesaikan dengan mengampuni diri sendiri dan
mulai hidup baru, hidup yang bukan manusia melainkan yang Allah kehendaki.
Kita
saat ini di sini tidak lepas dari kendali Allah. Mungkin teman- teman pernah di
satu titik merasa sedang di tempat yang salah, seharusnya tempat kita bukan di
sini Pahami dan segera ikuti
kegerakan-Nya. Pahami kira- kira kenapa kita di letakkan di sini, apa yang kita
gelisahkan sehingga merasa ini bukan tempat kita. Kembali ingat, interaksi
sosial tidak hanya “menyistem” diri kita, tetapi juga kehidupan orang lain.
Ambil peluang lingkungan dimana kita dikirim Allah ini, jadilah sahabat dalam
perjalanan rohani orang lain. Berilah kesaksian dan nyatakan kemuliaan-Nya
dalam keintegritasan kita menjalani studi. Beri pengaruh baik dari segala
sesuatu yang kita rasa tidak seharusnya di sini. Mungkin kita pernah merasa
salah jurusan, tapi bisa jadi Tuhan menetapkan ini jurusan yang tepat sebagai
garis depan kita dalam memberikan buah dari-Nya kepada orang lain melalui diri
kita (Green, 2017).
Roma 9:20-21 (TB) Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya: "Mengapakah engkau membentuk aku demikian?"
Apakah tukang periuk tidak mempunyai hak atas tanah liatnya, untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang biasa?
Mahasiswa Kristen bukan pengangguran terselubung melainkan pelayan terselubung. Seraya menghidupi pelayanan kita yang sekarang, mempersiapkan pelayanan kita berikutnya sama pentingnya. Apa ya tujuan aku diletakkan di sini, kerinduan apa yang Tuhan beri untuk aku lakukan setelah ini?
Bias dalam manajemen pikiran dan pengambilan
keputusan jangan lagi menghalangi kehendak Tuhan. Putuskan dan siapkan diri
sehingga nantinya kita bisa dipakai-Nya lebih dahsyat lagi!
Nah, setelah lulus dari sini nanti
mau jadi apa?
Jangan- Jangan Dia Sengaja Menempatkanmu di Jurusan yang Salah Ini
Reviewed by Celoteh Ngoceh
on
June 06, 2019
Rating:
No comments